Perkembangan filsafat dari zaman klasik sampai dengan postmodern telah
memberikan sumbangan tak ternilai untuk kelangsungan kehidupan manusia. Masa
kejayaan dinasti Abbasiyah sendiri tidak lepas dari campur tangan
filosof-filosof hebat. Misalnya, Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Ibnu Khaldun, Ibnu
Razi, al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Karena dengan filsafat, manusia mampu
menemukan hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin. Filsafat merupakan
metode berfikir secara radikal dan sistematis yang melahirkan berbagai disiplin
pengetahuan. Di masa dinasti Abbasiyah, para filosof Islam berhasil melahirkan
temuan-temuan baru dalam bidang sains, dan teknologi. Sehingga nama-nama mereka
masyhur sampai ke daratan Eropa. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam
adalah kiblat pengetahuan dunia pada waktu itu.
Namun di kalangan pesantren, filsafat kurang begitu populer. Ini
disebabkan karena adanya anggapan bahwa filsafat selalu menyesatkan pemikiran
agama. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenunya
salah. Memang, al-Ghazali dalam kitabnya Tahafuth al-Falasifah membatasi
filsafat dalam dimensi ketuhanan. Namun, perlu diketahui juga bahwa filsafat
tidak hanya berkutat tentang masalah ketuhanan. Karena objek filsafat secara
umum ada tiga macam. Yaitu ketuhanan (teologis), alam (kosmologis) dan manusia
(antropologis). Jadi, meskipun tidak berfilsafat dalam wilayah sakral,
setidaknya santri-santri bisa berfilsafat dalam wilayah profan, yakni alam dan
manusia. Kesimpulannya, tidak ada alasan bagi santri untuk tidak berfilsafat.
Oleh karena itu, pembelajaran filsafat untuk santri harus sesegera mungkin
diselenggarakan.
Untuk mencapai tujuan ini tentunya tidak lepas dari kendala. Filsafat
merupakan jenis keilmuan non agamis, jadi sangat tidak mungkin dimasukkan dalam
kurikulum pesantren. Oleh karena itu diperlukan trik-trik khusus agar filsafat
dapat diterima di pesantren, salah satunya adalah dengan menjadikan nahwu
sebagai objek filsafat. Hal ini sangat mungkin, karena pada dasarnya ada
persamaan mendasar antara nahwu dengan filsafat, yaitu menggunakan penalaran.
Al-Jabiri dalam kitabnya Takwin al-Aql al-Araby mengatakan “Jika filsafat
adalah mukjizat bagi bangsa Yunani, maka tata bahasa adalah mukjizat bagi
bangsa Arab”. Dengan filsafat, pengetahuan yang sebelumnya tidak ada menjadi
ada. Dengan nahwu, pengetahuan yang awalnya belum dipahami menjadi terberdaya.
Menurut penulis, nahwu harus “berselingkuh” dengan filsafat, meninggalkan
sharaf. Sehingga dua mukjizat ini bisa bersinergi untuk menghasilkan
pengetahuan baru dengan cara yang berbeda.
Unsur pokok dalam nahwu adalah Isim, Fi’il dan Huruf. Karena ketiganya
merupakan hal pertama yang ditetapkan dan disepakati di awal peletakan nahwu.
Maka, ketiga kalimat inilah yang menjadi pondasi pokok agenda realisasi nahwu
sebagai objek filsafat.
Dalam kategori derajat, Isim menempati urutan teratas, karena Isim bisa
membentuk kalam tanpa adanya Fi’il dan Huruf. Isim adalah kalimat yang
independen. Isim juga merupakan kalimat yang Qiyamuhu qinafsihi. Fakta lain,
isim tidak terikat dengan waktu. Dan sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh Allah,
sehingga dapat disimpulkan bahwa Isim adalah bentuk dari filsafat ketuhanan.
Sedangkan Fi’il menempati urutan kedua. Ini disebabkan karena Fi’il tidak
bisa membentuk kalam sendirian tanpa adanya Isim. Ketiadaan isim berarti ketiadaan
jumlah fi’liyah. Sebab lain, kalimat Fi’il merupakan cetakan dari Isim
(mashdar). Fi’il juga terikat dengan waktu, sangat berbeda dengan Isim. Jika
kita berfikir secara mendalam (radikal), maka kita akan sampai kepada satu
kesimpulan bahwa substansi Fi’il ada dalam alam. Karena alam tidak bisa berdiri
sendiri. Alam juga merupakan hasil ciptaan Allah sang maha kuasa. Alam terikat
dengan waktu sedangkan tuhan tidak. Adanya alam merupakan bentuk representasi
bagi eksistensi tuhan. Fi’il merupakan simbol dari filsafat alam.
Yang terakhir adalah Huruf. Kalimat ini paling rendah derajatnya. Karenac
Huruf tidak bisa membentuk kalam tanpa adanya Isim dan Fi’il. Bahkan tanpa
adanya kalimat lain, makna aslinya tidak bisa ditentukan. Sama halnya dengan
manusia, yang eksistensinya akan dipertanyakan tanpa adanya tuhan dan alam. tanpa
adanya tuhan dan alam.
Jenis terakhir adalah filsafat kemanusiaan Manusia tidak bisa mengukur
keberadaan tuhan lewat dzat. Namun manusia bisa berfikir lewat ciptaannya untuk
menemukan keberadaan tuhan. Nahwu bisa dijadikan argumentasi atas keberadaan
tuhan, meski dalam wilayah sendiri. Isim, Fi’il dan Huruf merupakan sebuah
gambaran kehidupan, dimana satu sama lain saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Penjelasan di atas hanya sebuah pengantar, dan belum mewakili secara
keseluruhan. Dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat, selain akan
melahirkan istilah baru, juga akan membuat santri lebih antusias dan tidak
cepat bosan dengan materi nahwu yang disampaikan, serta media untuk memperkuat
iman kita kepada allah SWT.
Berangkat dari sini,semoga pesantren bisa melahirkan kader-kader
intelektual agamis yang mampu mengembalikan kejayaan Islam yang sekarang
direbut bangsa barat
0 Komentar