“Adakah Yang Lebih
Kuat Dari Tradisi....”
A.
Mukaddimah
Berbagai literatur mencatat bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama (dulu
Nahdlatul Oelama=NO) tidak lepas dari bentuk pembelaan terhadap ajaran Islam Ahlussunah
Waljama'ah yang telah berjalan sejak Islam masuk ke Indonesia. Islam yang
dalam praktik ibadah menggunakan pendekatan metode madzhab telah berjalan dalam
suasana yang kondusif, aman dan damai. Pendekatan madzhab ini mengisyaratkan
bahwa untuk melakukan ijtihad harus memenuhi persyaratan tertentu. Orang yang
tidak mampu memenuhi persyaratan maka dikategorikan kedalam taqlid. Masyarakat
dengan bimbingan para ulama pesantren menjalankan shalat Subuh berqunut,
melakukan ziarah kubur, mengadakan tahlil, selawatan, manakiban, khoul, doa
tawasul dan talqin mayit.
Islam Ahlusunnah Waljama'ah ini tidak digubris. Para kyai pesantren
merasa terpanggil untuk memperjuangkan tegaknya Islam Ahlusunnah Waljama'ah di
Indonesia. Akhirnya para kyai membentuk sebuah komite yang dinamakan "Komite
hijaz". Komite inilah yang kemudian melayangkan surat permohonan agar
raja Ibnu saud memberikan kebebasan bermadzhab serta melestarikan tempat-tempat
bersejarah seperti kubur Nabi Muhammad SAW serta para sahabat. Ditengah
kesibukan menyukseskan tugas Komite Hijaz tersebut lahirlah jam'iyah Nahdlatul
Ulama tanggal 16 Rjab 1344 H bertepatan dengan 31 januari 1926 sebagai pihak
yang berhak mengirim delegasi. Elas sudah bahwa kelahiran NU didorong untuk
memperjuangkan Islam Ahlusunnah Waljama'ah di Indonesia. Statuten Nahdlatul
Oelama (AD/ART 1926) fatsal 2 dikatakan,
"Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: Memegang dengan tegoeh pada
salah satoe dari madzhabnja Imam ampat ………”
B.
Sejarah Berdiri
NU ( Nahdatul ‘ulama )
adalah Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31
Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di Surabaya.
Organisasi ini berdiri dipicu oleh tindakan penguasa baru Arab
Saudi berpaham wahabi yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan progran
pemurnian ajaran islam. Kala itu pemerintahan, antara lain, menggusur petilasan
sejarah islam, seperti makam beberapa pahlawan islam dengan dalih mencegah
kultus individu.[1]
Mereka juga melarang sesuatu yang dianggap bid’ah seperti membaca al-barzanji
yang dianggap sebagai kultus individu. Pemerintah Arab Saudi juga melarang
mazhab-mazhab selain mazhab wahabi, selain pemerintah Arab Saudi ingin menjadi
kekholifahan yang diakui eksistensinya secara internasional oleh negara yang
berpenduduknya beragama islam.
Keadaan ini adalah salah satu alasan berdirinya NU. Karena undangan
itu sekiranya akan juga dihadiri oleh beberapa organisasi di Indonesia, namun
orang-orang yang “tradisional” ini tidak diberi kesempatan untuk
menyampaikan keberatan atas ide-ide wahabi mencoba untuk membuat trobosan baru
yaitu mendirikan “komite hijaz”. Komte hijaz ini kemudian berangkat
sendiri ke Arab untuk menyampaikan beberapa keberatan dan komite ini tidak ada
kaitannya dengan delegasi lain dari Indonesia. Setelah menyampaikan beberapa
pesan kepemerintah Arab Saudi mereka pulang dan kemudian komite ini dibakukan
untuk menjadi oraganisasi. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan.
Berdirinya organisasi NU ini merupakan salah satu fenomena yang
luar biasa. Sebab, didirikan oleh orang-orang yang dianggap kolot, tradisi
tidak mempunyai kemampuan dan kecerdasan berorganisasi. Organisasi ini sendiri
sebenarnya tidak pernah lepas dari tangan dingin seorang kiai yaitu K.H Hasyim
Asy’ari.[2]
Jadi, antara kiai Hasyim Asy’ari dengan NU seperti dua mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, NU ada atas prakarsa beliau dan beliau
adalah simbol dari NU. Hubungan NU dan K.H.Hasyim Asy’ari ini digambarkan oleh
Mas’ud sebagai Bapak Spiritual NU. Berdirinya NU yang dibidangi oleh K.H.Hasyim
Asy’ari dan K.H.Wahab Hasbullah tidak lepas dari pengaruh K.H.Khalil dan juga
K.H.As’ad Samsul Arifin. K.H.As’ad pada waktu berdirinya NU masih bersetatus
santri K.H.Khalil dan sekaligus mediator antara K.H.Hasyim dengan gurunya dari
Bangkalan. As’ad bercerita; berdirinya NU tidak seperti lazimnya perkumpulan
lain. Berdirinya NU tidak ditentukan olen perizinan dari bupati atau gubernur,
tapi langsung dari Allah Swt. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan
para wali sembilan. Karena itu, didalam simbol NU terdapat bintang berjumlah
sembilan. Itu menandakan berdirinya NU tidak terlepas dari perjuangan para wali
sembilan.
C.
Mabadi Khaira Umah
Konsep Mabadi Khaira Umah muncul pertama kali pada konggres NU XIII
tahun 1935. Mabadi Khaira Umah sebenarnya sebuah gerakan moral yang harus
dimiliki oleh warga NU untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar. Berdasarkan
analisis para kyai bahwa ketidakmampuan melaksanakan amar makruf nahi munkar
dikarenakan lemahnya posisi ekonomi umat. Upaya menggerakkan ekonomi umat maka
harus diupayakan semacam pembangunan karakter. Karakter cara berfikir, berucap
dan bertindak akan sangat menentukan keberhasilan tujuan NU.
Adapun butir-butir Prinsip Khaira Umah yang harus diterapkan kepada
Nahdiyin ada lima yang disebut Al-Mabadi Al-Khomsah :
As-Sidqu: menanamkan kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan.
Referensi pada Surat At-Taubah : 119, Al-baqarah : 77, Al-Ahzab : 23, maryam :
41 dan 56 dan Hadits Rasulullah SAW.
Al-Amanah wal Wafa bil-‘ahdi: menanamkan sikap dapat dipercaya, setia dan tepat janji. Referensi
Al-Qur'an pada An-Nisa : 58, 59, 83, Al-Maidah : 1, Al-Baqarah : 177 dan
hadits-hadits Rasulullah SAW.
Al-‘Adalah: menanamkan sikap objektif, proporsional dan taat asas. Referensi
Al-Qur'an pada An-Nisak : 58, An-nahl : 90, Al-Hujurat : 9 dan hadis-hadis
Rasulullah SAW.
At-Ta'âwun: menanamkan sikap saling menolong, setia kawan dan gotong royong.
Referensi Al-Qur'an pada Hamim Sajdah : 30, As-Syura :15, An-nahl : 92 dan
hadis Rasulullah SAW.
Istiqômah: menanamkan sikap ajeg-jejeg, berkesinambungan dan berkelanjutan.
Referensi Al-Qur'an pada Hamim Sajdah : 30, As-Syura : 15, An-Nahl : 92 dan
hadis Rasulullah SAW.
Selanjutnya lima prinsip ini diharapkan mampu membangun kekuatan NU
sebagai jami'iyah bukan sekedar jamaah. Kualitas warga harus benar-benar
meningkat sehingga dapat menggerakkan kekuatan ekonomi umat yang pada
gilirannya akan memperkuat amar makruf nahi munkar.
D.
Khittah NU
Sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 1983, Nu kehilangan tujuan
awalnya. NU tenggelam dalam hingar bingar politik yang mengutamakan meraih
kekuasaan. Padahal sejak dilahirkan, NU berorientasi kepada amar makruf nahi
munkar yang berjuang melalui penegakan moral. Keasyikannya dalam berpolitik
telah menyebabkan berbagai program terbengkelai. NU semakin jauh dari jati
dirinya. Muktamar NU ke-26 di Semarang 1973 membawa NU ke bentuk jam'iyah,
namun sayang hal itu hanya terjadi pada tataran teoritis, sedangkan praktis
operasional mengalami kemandekan. Disatu sisi NU kembali ke jam'iyah, tetapi
disisi lain masih berpolitik secara institusi melalui PPP. Apalagi
kepengurusannya masih banyak terjadi rangkap jabatan.
Baru tahun 1983 Munas Alim Ulama di Situbondo lebih tegas agar NU
kembali Khittah 1926. Selanjutnya kembali khittah menjadi keputusan penting
pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Kali ini NU benar-benar ingin lebih
memfokuskan gerakan amar makruf nahi munkar. Secara kelembagaan, NU tidak lagi
berpolitik praktis. Hak berpolitik sepenuhnya diserahkan kepada warga. NU
sendiri secara institusi hanya bersentuhan dengan politik kebangsaan.
Khittah secara sederhana dapat dipahami sebagai landasan berfikir,
bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku
perorangan maupun kelembagaan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dasar-dasar keagamaan yang tetap dilaksanakan bahwa sumber ajaran Islam :
Al-Qur'an, As-Sunah, Al-ijmak, Al-Qiyas. Pemahaman ajaran Islam menggunakan
pendekatan metode madzhab. Bidang Aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy'ari
dan Abu Mansur Al-Maturidi. Bidang Fiqih mengikuti salah satu madzhab Empat dan
bidang tasawuf mengikuti Imam Junaidi Al-Baghdadi serta Imam Gozali.
Khittah berusaha membentuk masyarakat yang memiliki karakter :
1.
Tawasut
dan I‘tidâl, yaitu sikap adil dan tegak lurus ditengah kehidupan beragama.
Sikap ini menolak sifat tatoruf (ekstrim).
2.
Tasamuh,
yaitu sikap toleran terhadap berbagai pandangan, baik dalam masalah keagamaan,
kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.
Tawazun,
yaitu sikap menyeimbangkan khidmah kepada Allah dan kepada sesama makhluk.
Menyelaraskan kepentingan masalalu, masa kini dan masa datang.
4.
Amar
makruf nahi munkar, yaitu sikap kepekaan untuk mendorong beramal baik dan
menolak beramal buruk.
Konsekuensi pemulihan khittah membawa perubahan yang signifikan
terhadap kebijakan Nahdlatul Ulama. Dibidang organisasi ditegaskan bahwan
Pengurus NU disemua tingkatan adalah Pengurus Syuriyah. Pengurus Syuriah
pengendali, pemimpin dan pengelola NU. Syuriyah berhak menegur dan memberhentikan
Pengurus Tanfidziyah.
Konsekuensi NU terhadap Pancasila sebagai dasar negara bahwa NU
menganggap hal itu sudah tuntas sejak diterapkannya UUD 1945 tanggal 18 Agustus
1945. Pancasila sebagai dasar negara tidak bertentangan dengan agama Islam.
Oleh karena itu, jangan dipertentangkan.
Sedangkan hubungan NU dengan politik bahwasanya hak berpolitik
adalah salahsatu hak asasi warga negara termasuk didalamnya warga NU. Namun NU
bukanlah wadah kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik NU diserahkan
kepada individu warga NU sesuai dengan NU menghargai hak politik warganya. NU
secara kelembagaan tidak terkait dengan kekuatan politik manapun. Muktamar NU
ke-31 di Boyolali dibebaskan untuk menentukan hak politiknya sesuai hati
nurani.[3]
Upaya agar khittah dapat berjalan dengan baik maka dikeluarkan
Peraturan PBNU Nomor : 015/A.II.04d/III/2005 tentang larangan perangkapan
jabatan di lingkungan NU, larangan perangkapan jabatan dengan partai politik
dan larangan perangkapan jabatan dengan jabatan politik (presiden, wapres,
menteri, gubernur, wagub, bupati, wabup, walikota, wawalkot, anggota DPR/DPRD,
anggota DPD). Surat Edaran Petunjuk Pilkada Nomor : 115/A.II.03/5/2005 bahwa
Rois Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah PWNU/PCNU mutlak tidak diperbolehkan
mencalonkan diri dalam proses Pilkada. Pengurus lain jika mencalonkan diri
harus non aktif.
Dalam Kesepakatan Bersama PCNU se-Jawa Tengah disebutkan antara
lain bahwa NU tidak dalam kepasitasnya untuk mencalonkan, memberi dukungan,
menjadi tim sukses dan menolak pencalonan seseorang untuk menjadi Bupati,
Wabup, Walikota dan Wawalkot.[4]
0 Komentar