Epistimology Sebagai Penangkal Kesesatan Berpikir


Seseorang tidak akan keliru, jika orang tersebut menggunakan gaya berfikir yang sistematis dan metodelogis, maka dari itu diatas saya tuliskan epistimologi sebagai penangkal kesesatan berfikir, kesesatan berfikir kali ini adalah dalam hal ilmu pengetahuan. Herakleitus rnisalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Permanides menekankan penggunaan akal. Meskipun demikian, tak seorang pun di antara mereka yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).

Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Orang Yunani Kuno sudah menemukan manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.

Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap Orang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.

Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. apabila logis;benar, dan apabila tidak logis; salah. Nah, dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.

Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. “Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama,” bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. Kata “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru, Metode Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Yang berarti mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.

Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.

Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan.

Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.

Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, jika logis, tentang ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis juga teori lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting

Posting Komentar

0 Komentar