"Ahlusunnah Wal Jama’ah"



"Lihatlah Nak.....Setiap kebaikan akan selalu berdampingan dengan kejahatan....."

A.   Pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah apabila ditinjau dari segi artinya mempunyai dua pengertian yaitu : (1)Pengertian menurut bahasa dan (2)pengertian menurut istilah. Ahlus Sunah Wal Jama’ah menurut bahasa terdiri atas tiga suku kata yaitu Ahlun(أهل) artinya keluarga atau golongan. As-Sunah(الســــنّة) artinya Jejak Rosul SAW, baik yang meliputi ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Al Jama’ah(الجماعة) artinya kumpulan atau kelompok, maksudnya ialah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan golongan mayoritas umat Islam.[1]
Adapun menurut pengertian istilah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah golongan atau kelompok yang menganut ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. KH. Ahmad Shiddiq mengatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan pengikut yang setia pada ajaran islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah SAW. Bersama para sahabat baik di saat Nabi masih hidup maupun sepeninggalnya khususnya Khulafaur Rosyiddin. 
Kedudukan sahabat Nabi SAW. Dalam membagun pemahaman dan pengalaman ajaran Islam secara benar, dipandang sangat penting untuk diikuti dan dijadikan sebagai pedoman yang tidak perlu lagi diragukan kebenarannya, karena Nabi sendiri telah menempatkan sendiri ajaran para sahabat (khususnya Khulafaur Rosyiddin) sebagai ajaran yang harus dipegang teguh. 
Ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya pada dasarnya telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW, hanya saja belum tersusun secara rapi dan teratur, kemudian oleh ulama besar Syeikh Abu Hasan Al-Ssy’ari yang lahir dan wafat di kota Basrah disusun dan dirumuskan menjadi sebuah doktrin (ajaran) yang sekaligus menjadi sebuah nama aliran. Sehingga kaum ahlussunnah Wal Jama’ah disebut juga kaum Asya’iroh/Asy’ariyah, dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama besar Syeikh Abu Mansur Al- Maturidi yang lahir di Maturidi, Samarkand, yaitu salah seorang murid Al-Asy’ari mempunyai i’tikad yang sama dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, sehingga pahamnya disebut Maturidyyah dinisbatkan pada namanya sendiri.[2]
B.   Munculnya Istilah Ahlu sunnah wal jama’ah
Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ada dan sudah dipakai sejak Jaman Rosulullah SAW. Dan para sahabatnya, tetapi baru sebatas sebagai suatu doktrin (ajaran) dan belum menjadi suatu aliran dan gerakan kelompok tertentu, karena hakekat Ahlussunnah Wal Jama’ah sebenarnya adalah Al-Islam itu sendiri. Adapun yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai aliran dan gerakan adalah sebagai bentuk reaksi dan koreksi atas faham-faham islam yang mengancam kemurniah ajaran islam itu sendiri, terutama menguatkan aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya dimasa pemerintahan Al Ma’mun (198-218H / 813-833 M) Al-Mu’tashim (218-228 H / 833-842 M), dan Al-watsiq (228-233 H / 842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Penyebaran paham Mu’tazilah tersebut, kholifah Al-Ma’mun menggunakan cara-cara keji, yaitu dengan melakukan pemaksaan kepada seluruh jajaran pejabat pemerintah dan umat islam pada umumnya agar paham Mu’tazilah diterima sebagai ajaran dan gerakan yang harus diikuti. Dengan demikian, banyak ulama karismatik panutan umat yang menjadi korban penganiayaan, bahkan berakhir dengan kematian. Diantara para ulama yang menjadi korban penganiayaan tersebut adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh. Inilah peristiwa buruk yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan khususnya paham Mu’tazilah sendiri.
Kegigihan dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan atau aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah, serta timbulnya keresahan umat islam dalam menyikapi berbagai pertentangan dan perbedaan yang dibuat oleh Mu’tazilah, terutama dalam peristiwa ”Mihnatul Qur’an” (fitnah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka simpati masyarakat terhadap para ulama tersebut semakin meluas dan sekaligus menanamkan kebencian dan antisipasi terhadap Mu’tazilah dan pemerintahan yang mendukungnya.
Oleh sebab itu pada tahun 856 M. Kholifah Al-Mutawakkil generasi pengganti Al-Watsiq dengan pertimbangan mengamankan kedudukannya membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara/pemerintahan. Disamping itu masyarakat sendiri mengiginkan ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi SAW dan tradisi para sahabatnya.
Berdasarkan keadaan yang demikian tersebut, muncul ulama  besar yang bernama Abu Hasan Al-Asy’ari dengan kerangka pemikiran dan gagasan berusaha menampung kemauan masyarakat sesuai tingkat pemikiran mereka dengan membawa ajaran-ajaran Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tetap menjaga kemurnian ajaran islam yang sesuai dengan sunnah rosul dan tradisi para sahabatnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syeikh Abu Mansur Al-Maturidi untuk merumuskan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai sebuah aliran yang sekaligus sebagai sebuah gerakan, dengan tujuan menepis dan koreksi terhadap ajaran Mu’tazilah yang dianggap melakukan penyimpangan terhadap kemurnian ajaran islam.
C.   Latar Belakang Munculnya Aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya bukan barang baru di dunia islam, karena sudah ada sejak jaman Rosulullah SAW. Dan telah disebut-sebut dalam haditsnya, hanya saja nama dari golongan ini menjadi populer setelah memuncak-nya pertentangan yang hebat antara golongan Ahlussunnah wal jama’ah disatu pihak, dan golongan mu’tazilah dipihak lain. Golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang hanya berpegang pada Al-Qur;an Sunnah Rosulullah SAW dan Atsar Sahabantnya, Golongan Mu’tazilahadalah golongan umat islam yang telah terkena pengaruh oleh Filsafat Yunani, sehingga mereka terlalu membanggakan akal pikiran manusia, sampai-sampai mereka berani menyatakan fungsi Al-Qur’an dan Al-Hadits itu tidak lebih sebagai pembenar apa yang dinyatakan oleh rasio/akal manusia belaka.
Itulah sebabnya mereka dengan lantang berani menyatakan bahwa ”Al-Qur’an itu adalah makluk Allah dan bukan kalam Allah”.
Pada saat pertentangan yang sudah sampai pada perbedaan prinsip aqidah, maka muncullah salah seorang tokoh kader pilihan mu’tazilah yang sangat dibanggakan karena kecerdasan otaknya, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari yang juga sebagai anak angkat Ali Al-Juba’i, orang kedua setelah Wasil bin Atha’ (pendiri Mu’tazilah). Setelah Al-Asy’ari melihat kelemahan-kelemahan ajaran Mu’tazilah dan, dan menyaksikan langsung bahwa ternyata ayah angkatnya tidak mampu mempertahankan kebenaran paham Mu’tazilah mengenai Keadilan Allah yang harus berdasarkan masalah menurut ukuran akal manusia, maka beliau keluar dari golongan Mu’tazilah lalu menggabungkan diri dengan golongan Ahlussunnah guna mempertahankan golongan ini dari serangan golongan Mu’tazilah, dan kemudian memproklamirkan dengan nama Ahlussunnah Wal Jama’ah.[3]
Di indonesia sendiri paham Ahlussunnah waljama’ah muncul sebagai sebuah gerakan, tidak lain karena juga sebagai respon dan reaksi atas penyimpangan ajaran islam yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku dirinya sebagai Pembaharu Islam (Islam Modern).

D.   Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja
Islam, Iman dan Ihsan adalah Trilogi Agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi Syari’ah sebagai realitas hukum, Thariqah sebagai jembatan menuju Haqiqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya merupakan sisi yang tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah SAW yang menghadirkan aspek eksoterisme (Lahir) dan esoterisme (Batin) yang akar dari semuanya adalah tiga doktrin Aswaja diatas. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam prilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya. (Q.S Al-Baqarah: 208). Dikembangkan oleh Imam Izzudin bin Abdissalam yang mengatakan, “hakikat Islam adalah Aktivitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat Iman adalah aktivitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat Ihsan adalah aktivitas ruh dalam penyaksian (Musyahadah) kepada Allah.”[4]
Manifestasi dari doktrin Aswaja diatas ditemukan dari epistimolgoi Islam,[5] yang menurut pemikir Islam asal Maroko, M. Abid Al-Jabiri,[6] memiliki tiga kecenderungan, yaitu Bayani, Irfani dan Burhani. Bayani, adalah epistemologi  yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks atau penalaran teks. Adapun epistemologi Irfani adalah yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham dengan cirri khas dalam mendapatkan pengetahuan melalui metode Kasyf.  Sementara epistemology Burhani adalah yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ibnu Khaldun menyebutnya Knowledge by Intellect (al-ulum al-aqliyyah) dan kalangan barat mengenalnya dengan epistemology falsafah yang merujuk pada tradisi intelektual Yunani yang didirikan oleh Aristoteles.
Dalam konteks epistemologis hukum Islam dan kehidupan sosial kemasyarakatan, maka berangkat dari pengertian dan kecenderungan epistemologis diatas, dapat dikatakan bahwa munculnya epistemologis diatas lebih dikarenakan adanya tuntutan situasional guna mengatasi kevakuman hukum dan memperbaharui pemahaman kemasyarakatan sehingga muncullah-dalam bahasa fikih- Ijtihad dan dalam sosial kemasyarakatan dikenal dengan Paradigma[7] yang akhirnya menghasilkan hukum Islam kontemporer dan paradigm baru untuk diaplikasikan dalam bermasyarakat.[8]
Berangkat dari pemaparan tentang keadaan masyarakat dan metode yang digunakan, maka Aswaja menemukan suatu metodologi berfikir (Manhajul Fikr) yang menjadi ciri khas daripada sekte-sekte yang lain.  Karena metodologi pemikiran senantiasa menghindari sikap-sikap Tatharruf (ekstrem) , baik itu ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Maka munculah empat pilar Aswaja yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham Aswaja dengan sekte-sekte Islam lainnya.  Dari prinsip cara berpikir seperti inilah Aswaja membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

1.    Tawassuth (Moderat)
Tawassuth (Moderat) ialah sebuah sikap tengah yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (Terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah SWT: “dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S Al-Baqarah: 143).[9] Hal ini juga sesuai dengan dengan sabda Nabi Muhammad Saw bahwa  Khairul Umur Awsathuha (Paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya).
Dalam implementasinya, Al-Asyari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua pemikir yang Moderat dalam bidang Akidah. Di satu sisi mereka berusaha untuk menghindari pemikiran Mu’tazilah yang terlalu rasional dan memuja kebebasan berpikir sehingga menomorduakan al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi disisi lain, keduanya tidak sepakat dengan golongan salafi (Ibnu Taimiyah) yang sama sekali tidak member tempat bagi akal dan memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tekstual. Mereka berusaha menggabungkan dua pendekatan itu dan kemudian melahirkan konsep teologi yang saling melengkapi.
Mazhab Fiqih yang empat menerapkan pemikiran yang moderat dalam mengambil ijtihad hukumnya. Dengan cirri khas masing-masing membangun konsep fikih Islam yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun  pemahamannya tidak terjebak kepada fikih yang terlalu bersandar kepada tradisi ataupun kepada rasionalitas akal belaka.
Dalam bidang tasawuf, Imam Al-Junaid Al-Baghdady tampil dengan pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi dengan konservatif. Beliau berhasil menghadirkan konsep tasawuf suni yang menjadikan Taqwa (Syari’ah) sebagai jalan utama menuju Haqiqah. Dengan demikian, beliau berhasil mengangkat citra Tasawuf yang pada masa itu dianggap sebagai ajaran sesat sebab terlalu menyandarkan diri kepada filsafat Yunani dan tidak lagi mematuhi rambu-rambu syari’ah, seperti ajaran Al-Hallaj. Hal yang sama dilakukan oleh wali sanga yang menolak ajaran Syekh Siti Jenar.
Dan terakhir muncul Al-Ghazali yang mempertemukan antara konsep-konsep filosofis dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan terlebih dahulu mementahkan teori-teori filsafat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam seperti Ikhwan al-Shafa.  Bukan filsafat yang ditolak oleh Al-Ghazali, melainkan silogisme-silogisme[10]  filosofis yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam konteks kekinian, metodologi berfikir moderat, harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal disatu sisi dan nalar sosialisme disisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigm yang dipakai oleh NAHDLIYYIN MUDA yaitu Paradigma Kritis transformatif dan bisa berkembang menjadi Paradigma kritis Progresif.
Sikap moderat juga ditampilkan oleh sikap K.H. A. Mutamakkin, yang oleh Gus Dur disebut mengutamakan pandangan alternative terhadap kezaliman penguasa. Beliau tidak memberikan perlawanan secara terbuka, tetapi juga tidak membenarkannya.[11]Sejalan dengan konsep moderat diatas, Munawir Syadzali menawarkan konsep Religion State yang merupakan jalan tengah daripada konsep Theocratic State dan Sekular/Liberal State.

2.    Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun berarti seimbang dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lainnya. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial, yang ditekankan adalah egalitarianism (Persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Tidak ada eksploitasi dan dominasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Maka kita lihat sejarah nabi dan sahabatnya dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang tegas menentang penjajahan dan Kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat sikap Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas Ulama yang menolak doktrin Mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap bentuk pemaksaan negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus harus menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun, kita juga bisa melihat contoh lain sikap Al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama Nizam Al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan, member masukan atau kritik dan hubungan yang mesra antara ulama dan umara pun tercipta. Untuk konteks keIndonesiaan, KH. Hasyim Asy’ari, menggalang masa untuk mengusir penjajah di Surabaya dalam peristiwa 10 November yang kita kenal dengan hari pahlawan dan kemunculan resolusi Jihad.Begitupun KH. Wahid Hasyim yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara.
Kemudian dalam wilayah ekonomi, yang meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar dan masyarakat. Bagaimana Umar bin Abdul Aziz mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan menyeimbangkan fungsi negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan dan pendistribusian zakat; Mewajibkan setiap pengusaha , pedagang dan pendistribusian jasa (pasar) untuk mengeluarkan zakat sebagai control terhadap kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli yang dalam bahasa Karl Mark disebut kapitalis. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin. Dalam wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploitatif dan merusak lingkungan.
Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianism dalam ranah sosial, tidak ada kesenjangan berlebih antar manusia, mengembalikan fungsi negara dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya.
3.    Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh atau Toleransi adalah sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralism atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Bila melihat sejarah, bagaimana sikap ulama terdahulu tidak pernah menyuarakan pelaknatan dan pengadilan/penjustifikasian kepada orang yang berbeda dengannya, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama Islam. Lihat pula bagaimana sikap wali songo terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dahulu berada di Jawa. Yang terpenting adalah menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai dan menghormati.
Dalam kebudayaan, kita harus menghargai adanya perbedaan ras, suku, adat istiadat dan bahasa sebagai elan dinamis bagi perubahan masyarakat kearah lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi, Unity in Plurality.
Dalam memaknai toleransi ini, sudah selayaknya NAHDLIYYIN MUDA bersifat Inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme dan fanatisme agama ataupun golongan. Bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan.
4.    Ta’adul (Netral/Adil)
Yang dimaksud dari Ta’adul atau adil adalah pola integral dari Tawassuth, Tasamuh dan Tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaran Universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi harus selalu diselaraskan dengan nilai keadilan ini. Pemaknaan yang dimaksud disini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Sejarah membuktikan, bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu mewujudkannya dalam masyarakat madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakan pondasi bagi peradaban Islam yang Agung.


Daftar Rujukan
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Anam, Munir Che. Muhammad SAW & Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sobary, Mohamad. NU dan KEINDONESIAAN, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis, Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2001
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab– Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. 14), hlm. 46
[2] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy‟ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.
[3] Shaykh „Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Talib Tariq al-Haq (Beirut: Maktabat al Shab„iyyah, tt.), hlm. 5.
[4] Suatu unsur yang terbangun dari satu elemen.... h. 208
[5] Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan
[6] M. Abid al-Jabiri, Bunyah al-aql al-araby. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-ma’rifah fi as-Saqafah al-Islamiyah (Beirut: Markaz Dirasah Al-Wahidah Al-Arabiyah) hal. 47-53
[7] Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari keilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang keilmuan (Ritzer,1992:8)
[8] Ahmad Rafiq, Epistemologi Syara’ mencari format baru fiqih Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000) hal.103
[9] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Manifesto Wacana Kiri; membentuk solidaritas Organik agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) Hal. 181
[10] Proses penarikan kesimpulan secara deduktif (dari yang umum ke khusus) yang disusun dari dua proposisi (Pernyataan) dan sebuah konklusi (Kesimpulan)
[11] Mohamad Sobary,  NU dan KeIndonesiaan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010) hal, 6-7

Posting Komentar

0 Komentar