"Lihatlah
Nak.....Setiap kebaikan akan selalu berdampingan dengan kejahatan....."
A. Pengertian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah apabila ditinjau dari
segi artinya mempunyai dua pengertian yaitu : (1)Pengertian menurut bahasa dan
(2)pengertian menurut istilah. Ahlus Sunah Wal Jama’ah menurut bahasa terdiri
atas tiga suku kata yaitu Ahlun(أهل) artinya keluarga atau golongan. As-Sunah(الســــنّة)
artinya Jejak Rosul SAW, baik yang meliputi ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.
Al Jama’ah(الجماعة) artinya kumpulan atau kelompok, maksudnya ialah para sahabat
Nabi Muhammad SAW. Dan golongan mayoritas umat Islam.[1]
Adapun menurut pengertian istilah, Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah ialah golongan atau kelompok yang menganut ajaran Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya. KH. Ahmad Shiddiq mengatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah golongan pengikut yang setia pada ajaran islam yang diajarkan
dan diamalkan oleh Rosulullah SAW. Bersama para sahabat baik di saat Nabi masih
hidup maupun sepeninggalnya khususnya Khulafaur Rosyiddin.
Kedudukan sahabat Nabi SAW. Dalam membagun pemahaman dan pengalaman
ajaran Islam secara benar, dipandang sangat penting untuk diikuti dan dijadikan
sebagai pedoman yang tidak perlu lagi diragukan kebenarannya, karena Nabi
sendiri telah menempatkan sendiri ajaran para sahabat (khususnya Khulafaur
Rosyiddin) sebagai ajaran yang harus dipegang teguh.
Ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya pada dasarnya telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW, hanya saja belum tersusun secara rapi dan teratur, kemudian oleh ulama besar Syeikh Abu Hasan Al-Ssy’ari yang lahir dan wafat di kota Basrah disusun dan dirumuskan menjadi sebuah doktrin (ajaran) yang sekaligus menjadi sebuah nama aliran. Sehingga kaum ahlussunnah Wal Jama’ah disebut juga kaum Asya’iroh/Asy’ariyah, dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama besar Syeikh Abu Mansur Al- Maturidi yang lahir di Maturidi, Samarkand, yaitu salah seorang murid Al-Asy’ari mempunyai i’tikad yang sama dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, sehingga pahamnya disebut Maturidyyah dinisbatkan pada namanya sendiri.[2]
Ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya pada dasarnya telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW, hanya saja belum tersusun secara rapi dan teratur, kemudian oleh ulama besar Syeikh Abu Hasan Al-Ssy’ari yang lahir dan wafat di kota Basrah disusun dan dirumuskan menjadi sebuah doktrin (ajaran) yang sekaligus menjadi sebuah nama aliran. Sehingga kaum ahlussunnah Wal Jama’ah disebut juga kaum Asya’iroh/Asy’ariyah, dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama besar Syeikh Abu Mansur Al- Maturidi yang lahir di Maturidi, Samarkand, yaitu salah seorang murid Al-Asy’ari mempunyai i’tikad yang sama dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, sehingga pahamnya disebut Maturidyyah dinisbatkan pada namanya sendiri.[2]
B. Munculnya Istilah Ahlu sunnah wal jama’ah
Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ada dan
sudah dipakai sejak Jaman Rosulullah SAW. Dan para sahabatnya, tetapi baru
sebatas sebagai suatu doktrin (ajaran) dan belum menjadi suatu aliran dan
gerakan kelompok tertentu, karena hakekat Ahlussunnah Wal Jama’ah sebenarnya
adalah Al-Islam itu sendiri. Adapun yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal
Jama’ah sebagai aliran dan gerakan adalah sebagai bentuk reaksi dan koreksi
atas faham-faham islam yang mengancam kemurniah ajaran islam itu sendiri, terutama
menguatkan aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya dimasa
pemerintahan Al Ma’mun (198-218H / 813-833 M) Al-Mu’tashim (218-228 H /
833-842 M), dan Al-watsiq (228-233 H / 842-847 M) yang menjadikan
Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Penyebaran paham Mu’tazilah tersebut, kholifah
Al-Ma’mun menggunakan cara-cara keji, yaitu dengan melakukan pemaksaan kepada
seluruh jajaran pejabat pemerintah dan umat islam pada umumnya agar paham
Mu’tazilah diterima sebagai ajaran dan gerakan yang harus diikuti. Dengan
demikian, banyak ulama karismatik panutan umat yang menjadi korban
penganiayaan, bahkan berakhir dengan kematian. Diantara para ulama yang menjadi
korban penganiayaan tersebut adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh.
Inilah peristiwa buruk yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan
khususnya paham Mu’tazilah sendiri.
Kegigihan dan keteguhan mereka dalam
mempertahankan keyakinan atau aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah, serta timbulnya
keresahan umat islam dalam menyikapi berbagai pertentangan dan perbedaan yang
dibuat oleh Mu’tazilah, terutama dalam peristiwa ”Mihnatul Qur’an”
(fitnah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
simpati masyarakat terhadap para ulama tersebut semakin meluas dan sekaligus
menanamkan kebencian dan antisipasi terhadap Mu’tazilah dan pemerintahan yang
mendukungnya.
Oleh sebab itu pada tahun 856 M. Kholifah
Al-Mutawakkil generasi pengganti Al-Watsiq dengan pertimbangan mengamankan
kedudukannya membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi
negara/pemerintahan. Disamping itu masyarakat sendiri mengiginkan ajaran yang
sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi SAW dan tradisi para
sahabatnya.
Berdasarkan keadaan yang demikian tersebut,
muncul ulama besar yang bernama Abu
Hasan Al-Asy’ari dengan kerangka pemikiran dan gagasan berusaha menampung
kemauan masyarakat sesuai tingkat pemikiran mereka dengan membawa ajaran-ajaran
Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tetap menjaga kemurnian ajaran islam yang
sesuai dengan sunnah rosul dan tradisi para sahabatnya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Syeikh Abu Mansur Al-Maturidi untuk merumuskan ajaran
Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai sebuah aliran yang sekaligus sebagai sebuah
gerakan, dengan tujuan menepis dan koreksi terhadap ajaran Mu’tazilah yang
dianggap melakukan penyimpangan terhadap kemurnian ajaran islam.
C.
Latar Belakang Munculnya Aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya bukan barang
baru di dunia islam, karena sudah ada sejak jaman Rosulullah SAW. Dan telah
disebut-sebut dalam haditsnya, hanya saja nama dari golongan ini menjadi
populer setelah memuncak-nya pertentangan yang hebat antara golongan
Ahlussunnah wal jama’ah disatu pihak, dan golongan mu’tazilah dipihak lain. Golongan
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang hanya berpegang pada Al-Qur;an
Sunnah Rosulullah SAW dan Atsar Sahabantnya, Golongan Mu’tazilahadalah golongan
umat islam yang telah terkena pengaruh oleh Filsafat Yunani, sehingga mereka
terlalu membanggakan akal pikiran manusia, sampai-sampai mereka berani
menyatakan fungsi Al-Qur’an dan Al-Hadits itu tidak lebih sebagai pembenar apa
yang dinyatakan oleh rasio/akal manusia belaka.
Itulah sebabnya mereka dengan lantang berani
menyatakan bahwa ”Al-Qur’an itu adalah makluk Allah dan bukan kalam Allah”.
Pada saat pertentangan yang sudah sampai pada
perbedaan prinsip aqidah, maka muncullah salah seorang tokoh kader pilihan
mu’tazilah yang sangat dibanggakan karena kecerdasan otaknya, yaitu Abu Hasan
Al-Asy’ari yang juga sebagai anak angkat Ali Al-Juba’i, orang kedua setelah
Wasil bin Atha’ (pendiri Mu’tazilah). Setelah Al-Asy’ari melihat
kelemahan-kelemahan ajaran Mu’tazilah dan, dan menyaksikan langsung bahwa
ternyata ayah angkatnya tidak mampu mempertahankan kebenaran paham Mu’tazilah
mengenai Keadilan Allah yang harus berdasarkan masalah menurut ukuran akal
manusia, maka beliau keluar dari golongan Mu’tazilah lalu menggabungkan diri
dengan golongan Ahlussunnah guna mempertahankan golongan ini dari serangan
golongan Mu’tazilah, dan kemudian memproklamirkan dengan nama Ahlussunnah Wal
Jama’ah.[3]
Di indonesia sendiri paham Ahlussunnah
waljama’ah muncul sebagai sebuah gerakan, tidak lain karena juga sebagai respon
dan reaksi atas penyimpangan ajaran islam yang dilakukan oleh kelompok yang
mengaku dirinya sebagai Pembaharu Islam (Islam Modern).
D.
Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja
Islam, Iman dan Ihsan adalah Trilogi Agama yang
membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi Syari’ah sebagai realitas hukum,
Thariqah sebagai jembatan menuju Haqiqah yang merupakan puncak kebenaran
esensial. Ketiganya merupakan sisi yang tak terpisahkan dari keutuhan risalah
yang dibawa Rasulullah SAW yang menghadirkan aspek eksoterisme (Lahir) dan
esoterisme (Batin) yang akar dari semuanya adalah tiga doktrin Aswaja diatas.
Ketiganya harus berjalan seimbang dalam prilaku dan penghayatan keagamaan umat,
seperti yang ditegaskan dalam Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya. (Q.S Al-Baqarah: 208).
Dikembangkan oleh Imam Izzudin bin Abdissalam yang mengatakan, “hakikat Islam
adalah Aktivitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat
Iman adalah aktivitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat Ihsan adalah aktivitas
ruh dalam penyaksian (Musyahadah) kepada Allah.”[4]
Manifestasi dari doktrin Aswaja diatas
ditemukan dari epistimolgoi Islam,[5] yang
menurut pemikir Islam asal Maroko, M. Abid Al-Jabiri,[6] memiliki
tiga kecenderungan, yaitu Bayani, Irfani dan Burhani. Bayani, adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa
sumber ilmu adalah teks atau penalaran teks. Adapun epistemologi Irfani adalah
yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham dengan cirri khas
dalam mendapatkan pengetahuan melalui metode Kasyf. Sementara epistemology Burhani adalah yang
berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ibnu Khaldun menyebutnya Knowledge
by Intellect (al-ulum al-aqliyyah) dan kalangan barat mengenalnya dengan
epistemology falsafah yang merujuk pada tradisi intelektual Yunani yang
didirikan oleh Aristoteles.
Dalam konteks epistemologis hukum Islam dan
kehidupan sosial kemasyarakatan, maka berangkat dari pengertian dan
kecenderungan epistemologis diatas, dapat dikatakan bahwa munculnya
epistemologis diatas lebih dikarenakan adanya tuntutan situasional guna
mengatasi kevakuman hukum dan memperbaharui pemahaman kemasyarakatan sehingga
muncullah-dalam bahasa fikih- Ijtihad dan dalam sosial kemasyarakatan dikenal
dengan Paradigma[7]
yang akhirnya menghasilkan hukum Islam kontemporer dan paradigm baru untuk
diaplikasikan dalam bermasyarakat.[8]
Berangkat dari pemaparan tentang keadaan
masyarakat dan metode yang digunakan, maka Aswaja menemukan suatu metodologi
berfikir (Manhajul Fikr) yang menjadi ciri khas daripada sekte-sekte yang
lain. Karena metodologi pemikiran
senantiasa menghindari sikap-sikap Tatharruf (ekstrem) , baik itu ekstrim kanan
ataupun ekstrim kiri. Maka munculah empat pilar Aswaja yang menjadi esensi
identitas untuk mencirikan paham Aswaja dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dari prinsip cara berpikir seperti inilah
Aswaja membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
1. Tawassuth (Moderat)
Tawassuth (Moderat) ialah sebuah sikap tengah yang tidak cenderung
ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat
ini sangat urgen menjadi semangat mengakomodir beragam kepentingan dan
perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (Terbaik).
Sikap ini didasarkan pada firman Allah SWT: “dan demikian (pula) kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.” (Q.S Al-Baqarah: 143).[9] Hal ini
juga sesuai dengan dengan sabda Nabi Muhammad Saw bahwa Khairul Umur Awsathuha (Paling baiknya
sesuatu adalah pertengahannya).
Dalam implementasinya, Al-Asyari dan Al-Maturidi hadir sebagai dua
pemikir yang Moderat dalam bidang Akidah. Di satu sisi mereka berusaha untuk
menghindari pemikiran Mu’tazilah yang terlalu rasional dan memuja kebebasan
berpikir sehingga menomorduakan al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi disisi lain,
keduanya tidak sepakat dengan golongan salafi (Ibnu Taimiyah) yang sama sekali
tidak member tempat bagi akal dan memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah secara
tekstual. Mereka berusaha menggabungkan dua pendekatan itu dan kemudian
melahirkan konsep teologi yang saling melengkapi.
Mazhab Fiqih yang empat menerapkan pemikiran yang moderat dalam
mengambil ijtihad hukumnya. Dengan cirri khas masing-masing membangun konsep
fikih Islam yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun pemahamannya tidak terjebak kepada fikih yang
terlalu bersandar kepada tradisi ataupun kepada rasionalitas akal belaka.
Dalam bidang tasawuf, Imam Al-Junaid Al-Baghdady tampil dengan
pemikiran tasawuf yang berusaha mencari sinergitas antara kelompok falsafi
dengan konservatif. Beliau berhasil menghadirkan konsep tasawuf suni yang
menjadikan Taqwa (Syari’ah) sebagai jalan utama menuju Haqiqah. Dengan
demikian, beliau berhasil mengangkat citra Tasawuf yang pada masa itu dianggap
sebagai ajaran sesat sebab terlalu menyandarkan diri kepada filsafat Yunani dan
tidak lagi mematuhi rambu-rambu syari’ah, seperti ajaran Al-Hallaj. Hal yang
sama dilakukan oleh wali sanga yang menolak ajaran Syekh Siti Jenar.
Dan terakhir muncul Al-Ghazali yang mempertemukan antara
konsep-konsep filosofis dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan terlebih dahulu
mementahkan teori-teori filsafat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam
seperti Ikhwan al-Shafa. Bukan filsafat
yang ditolak oleh Al-Ghazali, melainkan silogisme-silogisme[10] filosofis yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam konteks kekinian, metodologi berfikir moderat, harus kita
maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal disatu sisi dan nalar
sosialisme disisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang
realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam
paradigm yang dipakai oleh NAHDLIYYIN MUDA yaitu Paradigma Kritis transformatif
dan bisa berkembang menjadi Paradigma kritis Progresif.
Sikap moderat juga ditampilkan oleh sikap K.H. A. Mutamakkin, yang
oleh Gus Dur disebut mengutamakan pandangan alternative terhadap kezaliman
penguasa. Beliau tidak memberikan perlawanan secara terbuka, tetapi juga tidak
membenarkannya.[11]Sejalan
dengan konsep moderat diatas, Munawir Syadzali menawarkan konsep Religion State
yang merupakan jalan tengah daripada konsep Theocratic State dan
Sekular/Liberal State.
2.
Tawazun
(Keseimbangan)
Tawazun berarti seimbang dalam pola hubungan atau relasi, baik yang
bersifat antar individu, antar struktur sosial, antar negara dan rakyatnya,
maupun antara manusia dengan alam. Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan
yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.
Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya
tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lainnya. Hasil yang diharapkan adalah
terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial, yang ditekankan adalah egalitarianism
(Persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang
lain, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Tidak ada eksploitasi dan dominasi
seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan atau
sebaliknya. Maka kita lihat sejarah nabi dan sahabatnya dengan tegas menolak
dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang tegas menentang
penjajahan dan Kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara
posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang,
menutup kran demokrasi dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu
mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga
senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Kita lihat sikap
Ahmad bin Hanbal kepada Al-Makmun yang menindas Ulama yang menolak doktrin
Mu’tazilah. Dia membangun basis perlawanan kerakyatan untuk menolak setiap
bentuk pemaksaan negara, walaupun dia dan para ulama yang lain harus harus
menahan penderitaan dan hukuman yang menyakitkan. Namun, kita juga bisa melihat
contoh lain sikap Al-Ghazali terhadap pemimpin yang adil bernama Nizam
Al-Muluk. Dia ikut berperan aktif dalam mendukung setiap program pemerintahan,
member masukan atau kritik dan hubungan yang mesra antara ulama dan umara pun
tercipta. Untuk konteks keIndonesiaan, KH. Hasyim Asy’ari, menggalang masa
untuk mengusir penjajah di Surabaya dalam peristiwa 10 November yang kita kenal
dengan hari pahlawan dan kemunculan resolusi Jihad.Begitupun KH. Wahid Hasyim
yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara.
Kemudian dalam wilayah ekonomi, yang meniscayakan pembangunan
sistem ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar dan masyarakat.
Bagaimana Umar bin Abdul Aziz mampu membangun ekonomi Islam yang kokoh dengan
menyeimbangkan fungsi negara (baitul mal) sebagai pengatur sirkulasi keuangan
dan pendistribusian zakat; Mewajibkan setiap pengusaha , pedagang dan
pendistribusian jasa (pasar) untuk mengeluarkan zakat sebagai control terhadap
kekayaan individu dan melarang setiap bentuk monopoli yang dalam bahasa Karl
Mark disebut kapitalis. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun saja telah
terbangun struktur ekonomi yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin. Dalam
wilayah ekologi, tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploitatif
dan merusak lingkungan.
Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan
egalitarianism dalam ranah sosial, tidak ada kesenjangan berlebih antar
manusia, mengembalikan fungsi negara dan memanfaatkan alam dengan
sebaik-baiknya.
3.
Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh atau Toleransi adalah sebuah pola sikap yang menghargai
perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang
mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan
pluralism atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada
perpecahan.
Bila melihat sejarah, bagaimana sikap ulama terdahulu tidak pernah
menyuarakan pelaknatan dan pengadilan/penjustifikasian kepada orang yang
berbeda dengannya, selama ajaran mereka tidak mengancam eksistensi agama Islam.
Lihat pula bagaimana sikap wali songo terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha)
yang sudah lebih dahulu berada di Jawa. Yang terpenting adalah menciptakan
stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai dan
menghormati.
Dalam kebudayaan, kita harus menghargai adanya perbedaan ras, suku,
adat istiadat dan bahasa sebagai elan dinamis bagi perubahan masyarakat kearah
lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama
untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi,
Unity in Plurality.
Dalam memaknai toleransi ini, sudah selayaknya NAHDLIYYIN MUDA
bersifat Inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk
primordialisme dan fanatisme agama ataupun golongan. Bukan waktunya lagi untuk
terkotak-kotak dalam kebekuan golongan.
4.
Ta’adul
(Netral/Adil)
Yang dimaksud dari
Ta’adul atau adil adalah pola integral dari Tawassuth, Tasamuh dan Tawazun.
Keadilan inilah yang merupakan ajaran Universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap
dan relasi harus selalu diselaraskan dengan nilai keadilan ini. Pemaknaan yang
dimaksud disini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas
kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Sejarah
membuktikan, bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu mewujudkannya dalam masyarakat
madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakan pondasi bagi
peradaban Islam yang Agung.
Daftar Rujukan
Kristeva, Nur Sayyid Santoso, Sejarah Teologi Islam dan Akar
Pemikiran Ahlussunah Wal Jama’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik, Agitasi dan
Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Anam, Munir Che. Muhammad SAW & Karl Marx; Tentang Masyarakat
Tanpa Kelas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sobary, Mohamad. NU dan KEINDONESIAAN, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis, Jakarta: Penerbit
PARAMADINA, 2001
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2009
[1] Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab– Indonesia(Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, cet. 14), hlm. 46
[2] Abi
al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy‟ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.
[3] Shaykh
„Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Ghunyah li Talib Tariq al-Haq (Beirut: Maktabat al
Shab„iyyah, tt.), hlm. 5.
[4] Suatu
unsur yang terbangun dari satu elemen.... h. 208
[5] Epistemologi,
(dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan
[6] M. Abid
al-Jabiri, Bunyah al-aql al-araby. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum
al-ma’rifah fi as-Saqafah al-Islamiyah (Beirut: Markaz Dirasah Al-Wahidah
Al-Arabiyah) hal. 47-53
[7] Paradigma
adalah pandangan yang mendasar dari keilmuan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang keilmuan (Ritzer,1992:8)
[8] Ahmad
Rafiq, Epistemologi Syara’ mencari format baru fiqih Indonesia (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2000) hal.103
[9] Nur
Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Manifesto Wacana Kiri; membentuk
solidaritas Organik agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti
Ideologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) Hal. 181
[10] Proses
penarikan kesimpulan secara deduktif (dari yang umum ke khusus) yang disusun
dari dua proposisi (Pernyataan) dan sebuah konklusi (Kesimpulan)
[11] Mohamad
Sobary, NU dan KeIndonesiaan.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010) hal, 6-7
0 Komentar