Pesantren, Sebuah kilas definisi
Pesantren
ialah lembaga pendidikan tradisonal yang digunakan sebagai wadah untuk
mempelajari, menghayati dan membiasakan ajaran-ajaran agama Islam, dengan
menekankan kepentingan moral untuk menjalani hidup sehari-hari. Lain dari pada
itu, Pesantren merupakan institusi pendidikan yang unik. Ketika masa penjajahan
hingga proklamasi kemerdekaan 1945, 99 persen dari total penduduk Indonesia
dinyatakan sebagai manusia-manusia yang buta huruf. Sejatinya hal ini tidak
tepat karena yang dimaksud adalah buta huruf latin. Pada masa itu sudah
berkembang pendidikan pesantren yang notabene lulusannya sudah melek huruf
bahasa Arab. Pesantren pada masa penjajahan Belanda merupakan semacam
perlawanan untuk menghindar dari penjajahan langsung Belanda yang memberikan
kesempatan masuk sekolah hanya kepada kalangan sangat terbatas.
Civil
society nusantara waktu penjajahan telah memberi jalan keluar dalam pendidikan,
yakni mendirikan pesantren yang umumnya di wilayah pedesaan. Pesantren boleh
kita sebut sebagai awal kebangkitan civil society yang keluar dari rahim rakyat
lewat jalur pendidikan.
Keunikan
lain, kalau dilihat metode pendidikannya, boleh dibilang lebih bebas dari
kungkungan "sekolah umum" yang terpagari rigiditas. Pesantren lebih
dekat dengan ide deschooling society ala Ivan Illich seperti berkembang
di beberapa negara Amerika Latin yang mulai pada 1970-an. Ide tersebut untuk
membangun kesadaran hidup dan bukan semata mencapai kecerdasan literal seperti
yang dominan terdapat di sekolah umum. Ini dimanifestasikan dimana dalam
pesantren dibangun ruang hidup yang mengkaji pelajaran agama yang langsung
dikaitkan dengan kehidupan nyata di pedesaan.
Di
pesantren terdapat kegiatan yang bersifat full day school, bahkan sejak sebelum
Subuh hingga malam. Tidurnya pun untuk kemuliaan hidup dalam bimbingan ajaran
agama secara nyata (living religion). Pusat pembelajarannya adalah kitab-kitab
kuning dengan otoritas para kiai dan ustaz yang merupakan warisan intelektual
ulama terdahulu tentang segala macam aspek kehidupan. Sejak masa pra-kemerdekaan
hingga kini, kurikulum pesantren banyak memuat tentang pelajaran inti kurikulum
nasional plus keterampilan. Tujuannya selain agar lulusannya dapat melanjutkan
ke sekolah dan Perguruan tinggi umum, juga diharapkan bisa mandiri secara
ekonomi ketika sudah lulus di level manapun (SD, SLTP, SLTA, dan PT).
Lulusannya hingga sekarang sudah jutaan untuk semua level pendidikan.
Sumbangan
pesantren sejak masa penjajahan hingga pasca kemerdekaan sangat besar, terutama
dalam "ikut mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti tujuan nasional
berbangsa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
“Pesantren” Masih saja
dituduh sebagai Produsen teroris
Pada
era globalisasi di mana terjadi eksplosi kebebasan, termasuk semacam
"radikalisasi" (baca: menghalalkan penggunaan kekerasan dalam mengadvokasi
keagamaan) di lingkungan umat beragama (tidak hanya kalangan Islam). Di lain
pihak, meski imperialisme lama sudah musnah, muncul imperialisme baru yang
berkembang tidak hanya dalam bentuk soft atau lunak (baca: canggih), tetapi
juga hard (bentuk keras/fisik).
Bertemulah dua
arus tersebut sebagai aksi-reaksi yang memunculkan aksi terorisme. Sebenarnya
sering dilupakan aksi terorisme negara (state terrorism) dari negara penjajah
terhadap masyarakat terjajah. Juga pada masa pascakemerdekaan dalam bentuk
soft, seperti negara adikuasa terhadap negara berkembang dalam bentuk mindset
dan modal serta berbagai modus terkait proxy war. Dalam bentuk hard seperti
dialami Palestina sejak 1946 hingga sekarang dan Suriah pascagejolak
demokratisasi di Timur Tengah.
Dalam
konteks ini, terdapat semacam "efek tumpah" (spill over effect)
terhadap entitas pesantren, yakni pihak luar maupun dalam negeri yang
menstigmatisasi "pesantren sebagai sarang teroris", meskipun yang
dicurigai hanya belasan dari 22.230 (data 2020) jumlah pesantren (kurang dari
0,001 persen).
Dari yang belasan itu pun,
yang benar-benar nyata baru salah satu pesantren yang pemimpinnya terpidana.
Tetapi, efek psikologisnya terhadap publik yang bisa menggebyak uyah,
apalagi kalau sudah dipolitisasi.
“Pesantren” Promotor Kebangkitan
Dengan
jumlah pesantren yang puluhan ribu senusantara, justru bisa menjadi pusat
kebangkitan ekonomi, wirausaha, dan kelas menengah. Adalah disertasi Yudha
Heryawawan Asnawi dari Departemen Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia
(Fema) IPB yang lulus pada September 2016 justru membuktikan bahwa dalam tubuh
pesantren berkembang apa yang dia sebut mature rational economic/capitalistic.
Dalam
pengertian yang diambil dari Max Weber, yang dimaksud kapitalistik adalah upaya
manusia untuk mendapat keuntungan dengan melakukan kegiatan usaha atau dalam
pengertian Schumpeter sebagai kegiatan kewirausahaan.
Dalam
kaitan ini, saya ingin mengaitkan bahwa salah satu kerentanan bangsa adalah
kenyataan kecilnya persentase kaum entrepreneur yang merupakan pilar untuk
menghasilkan berbagai inovasi dan lapangan kerja. Kalau belajar dari evolusi
bangsa-bangsa Eropa hingga menjadi bangsa yang kokoh secara politik dan
ekonomi.
Meski
dewasa ini terkena krisis, tak sampai kehilangan produk domestik bruto (PDB)
yang besar, seperti Amerika Serikat waktu menghadapi krisis 2008, yakni sekitar
40 persen kekayaan nasionalnya. Kekokohan Eropa secara politik dan ekonomi
karena besarnya kelas menengah.
Namun,
bukan sekadar kelas menengah seperti yang dimaksud Bank Dunia, yakni penduduk
berpenghasilan di atas dua dolar AS per hari. Tetapi, adalah sebuah kelas
sosial-ekonomi yang yang tumbuh dari bawah yang independen dalam struktur
politik. Kelas ini selalu menjadi katalisator perubahan dan pembela kelas bawah
ketika terjadi kebijakan yang tidak menguntungkan kelas bawah.
Maka,
menurut penelitian, jumlah kelas kelas menengah di Indonesia sangat kecil
sehingga strukturnya seperti "tempayan" di mana kelas bawahnya
(diwakili oleh usaha mikro kecil menengah yang 99,98 persen). Sedangkan, kelas
menengah seperti pengertian yang dijelaskan di atas sangatlah kecil. Dampaknya,
terjadi gejala oligarki (dominasi elite strategis) yang dalam berbagai sektor
(ekonomi, politik, sosial, bisnis) tanpa ada koreksi signifikan jika terjadi
berbagai kebijakan dan/atau perubahan sosial yang merugikan kelas bawah.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan strategis seperti temuan disertasi Yudha H Asnawi sangat potensial, bukan hanya dapat menghasilkan kaum entrepreneur yang lebih masif, melainkan juga dapat membangun kelas menengah Indonesia yang kini struktur sosial-ekonominya seperti tempayan untuk lebih mengarah kepada struktur "belah ketupat."
Struktur ini kelas menengahnya besar, kemiskinan, dan kaum kayanya relatif tidak dominan. Dalam struktur tempayan seperti sekarang, justru jumlah UMKM-nya sangat besar, kelompok kayanya juga besar dan hegemonik serta cenderung menciptakan berbagai modus oligarki (kelompok yang mengisap sumber daya demi untuk kepentingan diri sendiri) tanpa ada kelas menengah yang cukup untuk mengimbanginya. Dan hal itu sangat rentan secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
0 Komentar