Sebenarnya Filsuf agung seperti Ivan Illich dan paulo freire Ingin Nyantri dan Mondok... Serius.!!!

 

Pesantren, Sebuah kilas definisi

Pesantren ialah lembaga pendidikan tradisonal yang digunakan sebagai wadah untuk mempelajari, menghayati dan membiasakan ajaran-ajaran agama Islam, dengan menekankan kepentingan moral untuk menjalani hidup sehari-hari. Lain dari pada itu, Pesantren merupakan institusi pendidikan yang unik. Ketika masa penjajahan hingga proklamasi kemerdekaan 1945, 99 persen dari total penduduk Indonesia dinyatakan sebagai manusia-manusia yang buta huruf. Sejatinya hal ini tidak tepat karena yang dimaksud adalah buta huruf latin. Pada masa itu sudah berkembang pendidikan pesantren yang notabene lulusannya sudah melek huruf bahasa Arab. Pesantren pada masa penjajahan Belanda merupakan semacam perlawanan untuk menghindar dari penjajahan langsung Belanda yang memberikan kesempatan masuk sekolah hanya kepada kalangan sangat terbatas.

Civil society nusantara waktu penjajahan telah memberi jalan keluar dalam pendidikan, yakni mendirikan pesantren yang umumnya di wilayah pedesaan. Pesantren boleh kita sebut sebagai awal kebangkitan civil society yang keluar dari rahim rakyat lewat jalur pendidikan.

Keunikan lain, kalau dilihat metode pendidikannya, boleh dibilang lebih bebas dari kungkungan "sekolah umum" yang terpagari rigiditas. Pesantren lebih dekat dengan ide deschooling society ala Ivan Illich seperti berkembang di beberapa negara Amerika Latin yang mulai pada 1970-an. Ide tersebut untuk membangun kesadaran hidup dan bukan semata mencapai kecerdasan literal seperti yang dominan terdapat di sekolah umum. Ini dimanifestasikan dimana dalam pesantren dibangun ruang hidup yang mengkaji pelajaran agama yang langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata di pedesaan.

Di pesantren terdapat kegiatan yang bersifat full day school, bahkan sejak sebelum Subuh hingga malam. Tidurnya pun untuk kemuliaan hidup dalam bimbingan ajaran agama secara nyata (living religion). Pusat pembelajarannya adalah kitab-kitab kuning dengan otoritas para kiai dan ustaz yang merupakan warisan intelektual ulama terdahulu tentang segala macam aspek kehidupan. Sejak masa pra-kemerdekaan hingga kini, kurikulum pesantren banyak memuat tentang pelajaran inti kurikulum nasional plus keterampilan. Tujuannya selain agar lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah dan Perguruan tinggi umum, juga diharapkan bisa mandiri secara ekonomi ketika sudah lulus di level manapun (SD, SLTP, SLTA, dan PT). Lulusannya hingga sekarang sudah jutaan untuk semua level pendidikan.

Sumbangan pesantren sejak masa penjajahan hingga pasca kemerdekaan sangat besar, terutama dalam "ikut mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti tujuan nasional berbangsa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

 

“Pesantren” Masih saja dituduh sebagai Produsen teroris

Pada era globalisasi di mana terjadi eksplosi kebebasan, termasuk semacam "radikalisasi" (baca: menghalalkan penggunaan kekerasan dalam mengadvokasi keagamaan) di lingkungan umat beragama (tidak hanya kalangan Islam). Di lain pihak, meski imperialisme lama sudah musnah, muncul imperialisme baru yang berkembang tidak hanya dalam bentuk soft atau lunak (baca: canggih), tetapi juga hard (bentuk keras/fisik).

Bertemulah dua arus tersebut sebagai aksi-reaksi yang memunculkan aksi terorisme. Sebenarnya sering dilupakan aksi terorisme negara (state terrorism) dari negara penjajah terhadap masyarakat terjajah. Juga pada masa pascakemerdekaan dalam bentuk soft, seperti negara adikuasa terhadap negara berkembang dalam bentuk mindset dan modal serta berbagai modus terkait proxy war. Dalam bentuk hard seperti dialami Palestina sejak 1946 hingga sekarang dan Suriah pascagejolak demokratisasi di Timur Tengah.

Dalam konteks ini, terdapat semacam "efek tumpah" (spill over effect) terhadap entitas pesantren, yakni pihak luar maupun dalam negeri yang menstigmatisasi "pesantren sebagai sarang teroris", meskipun yang dicurigai hanya belasan dari 22.230 (data 2020) jumlah pesantren (kurang dari 0,001 persen).

Dari yang belasan itu pun, yang benar-benar nyata baru salah satu pesantren yang pemimpinnya terpidana. Tetapi, efek psikologisnya terhadap publik yang bisa menggebyak uyah, apalagi kalau sudah dipolitisasi.

 

“Pesantren” Promotor Kebangkitan

Dengan jumlah pesantren yang puluhan ribu senusantara, justru bisa menjadi pusat kebangkitan ekonomi, wirausaha, dan kelas menengah. Adalah disertasi Yudha Heryawawan Asnawi dari Departemen Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB yang lulus pada September 2016 justru membuktikan bahwa dalam tubuh pesantren berkembang apa yang dia sebut mature rational economic/capitalistic.

Dalam pengertian yang diambil dari Max Weber, yang dimaksud kapitalistik adalah upaya manusia untuk mendapat keuntungan dengan melakukan kegiatan usaha atau dalam pengertian Schumpeter sebagai kegiatan kewirausahaan.

Dalam kaitan ini, saya ingin mengaitkan bahwa salah satu kerentanan bangsa adalah kenyataan kecilnya persentase kaum entrepreneur yang merupakan pilar untuk menghasilkan berbagai inovasi dan lapangan kerja. Kalau belajar dari evolusi bangsa-bangsa Eropa hingga menjadi bangsa yang kokoh secara politik dan ekonomi.

Meski dewasa ini terkena krisis, tak sampai kehilangan produk domestik bruto (PDB) yang besar, seperti Amerika Serikat waktu menghadapi krisis 2008, yakni sekitar 40 persen kekayaan nasionalnya. Kekokohan Eropa secara politik dan ekonomi karena besarnya kelas menengah.

Namun, bukan sekadar kelas menengah seperti yang dimaksud Bank Dunia, yakni penduduk berpenghasilan di atas dua dolar AS per hari. Tetapi, adalah sebuah kelas sosial-ekonomi yang yang tumbuh dari bawah yang independen dalam struktur politik. Kelas ini selalu menjadi katalisator perubahan dan pembela kelas bawah ketika terjadi kebijakan yang tidak menguntungkan kelas bawah.

Maka, menurut penelitian, jumlah kelas kelas menengah di Indonesia sangat kecil sehingga strukturnya seperti "tempayan" di mana kelas bawahnya (diwakili oleh usaha mikro kecil menengah yang 99,98 persen). Sedangkan, kelas menengah seperti pengertian yang dijelaskan di atas sangatlah kecil. Dampaknya, terjadi gejala oligarki (dominasi elite strategis) yang dalam berbagai sektor (ekonomi, politik, sosial, bisnis) tanpa ada koreksi signifikan jika terjadi berbagai kebijakan dan/atau perubahan sosial yang merugikan kelas bawah.

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan strategis seperti temuan disertasi Yudha H Asnawi sangat potensial, bukan hanya dapat menghasilkan kaum entrepreneur yang lebih masif, melainkan juga dapat membangun kelas menengah Indonesia yang kini struktur sosial-ekonominya seperti tempayan untuk lebih mengarah kepada struktur "belah ketupat."

Struktur ini kelas menengahnya besar, kemiskinan, dan kaum kayanya relatif tidak dominan. Dalam struktur tempayan seperti sekarang, justru jumlah UMKM-nya sangat besar, kelompok kayanya juga besar dan hegemonik serta cenderung menciptakan berbagai modus oligarki (kelompok yang mengisap sumber daya demi untuk kepentingan diri sendiri) tanpa ada kelas menengah yang cukup untuk mengimbanginya. Dan hal itu sangat rentan secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.


Posting Komentar

0 Komentar