Oleh: Pejuang Peradaban; Zenkfa Bimillahirrahmanirrahimi Akan sangat sulit sekali melukiskan problematika pendidikan secara rinci akhir-akhir ini. Antara teori dan dan realitanya yang sangat kontras. Tapi apa guna teori tanpa ada perubahan di dunia nyata ?. banyak sekali masalah sosial yang disinyalir mengakar pada buruknya pendidikan, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, hingga nilai dan etika. Apa yang salah dalam pendidikan kita? Hingga agaknya pendidikan kita tak pernah mencapai tujuan atau bahkan sekedar bergerak ke tapak batu loncatannya pun tidak ?. Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia menjadi insan kamil, yakni orang yang memiliki kesempurnaan sebagai manusia. Adil dalam berfikir, adil dalam bertindak. Tugas berat untuk mengantarkan pada tujuan akhir ini dipikul oleh para guru, bagaimana dan dengan cara apa ia membentuk anak didiknya. Tapi masalahnya, banyak guru dalam pendidikan saat ini telah salah dalam memilih dan menerapkan metode pendidikannya, sedangkan kesalahan metode tidak lain pasti berakar dari kesalahan pandang terhadap pendidikan yang ia terapkan. Ia tidak mau menelaah serta berfikir tentang adanya keselarasan atau tidak antara metode dengan respon anak didik, dan antara respon dengan hasil yang dicapai. Tapi sebaliknya ia malah bersikukuh dengan cara pandang tanpa timbangan itu. Ia tak mau tahu, setahunya dulu ia diajar seperti itu dan ia pun mengajar seperti itu. Ia tak menyadari bahwa zaman telah berubah, karakter anak didik dulu dengan sekarang berbeda, kebutuhan pun berubah, dan segalanya telah berubah. Maka guru dituntut untuk menjaga asas dan tujuan pendidikan dengan inovasi-inovasi metode yang sesuai dengan tuntutan keadaan sekarang ini. Bukan malah bersikukuh pada satu metode tapi tak menyentuh subtansi. Selama ini yang sering kita lihat dalam praktek pendidikan sekarang adalah guru menyampaikan informasi berupa materi pelajaran, murid mendengarkan dan setelah itu selesai. Jadi bisa kita bayangkan bahwa guru ibarat tengkulak informasi yang nanti disebar dan dibagi-bagi pada keranjang-keranjang memori anak didik. Inilah potret pendidikan kita sekarang. Apakah salah ?, tentu tidak !. sebab pandangan ini berakar dari paradigma pendidikan Behavioristik, dimana guru memberi stimulus berupa materi pelajaran dengan berharap ada respon dari anak didik berupa penggalian lebih lanjut yang mereka lakukan di rumah sepulang sekolah. Jadi masalahnya bukan benar atau tidak, tapi relevan atau tidak ?. sebab kesadaran mereka untuk menggali lebih lanjutpun masih diragukan. Kita tahu sendiri bahwa minat baca anak didik kita rendah, kesadaran belajar juga rendah, dan terlebih lagi kadang mereka hanya mengejar ijazah agar kelak dapat kerja. Ironis memang, padahal pilar dalam pendidikan ada tiga, yakni pengajaran, bimbingan, dan pelatihan. Sedangkan kita baru menginjak yang pertama, belum yang kedua dan yang ketiga. Maka dengan fakta ini masihkah para guru hanya akan bagi-bagi informasi ? tentu jangan !. sebab anak didik dalam memahami sesuatu pun ada tiga tahap, yaitu menerima, mengolah, dan menyampaikan. Inilah kriteria pemahaman yang sempurna. Dengan metode bagi-bagi informasi kapan mereka akan mengolah? Dan kapan mereka dapat menyampaikan apa yang mereka peroleh ? tentu tidak ada !!!. Dengan kenyataan ini – bila masih tidak ada perubahan – maka dipastikan kita akan kesulitan mencari generasi pemikir dan pecinta ilmu. Sebab budaya yang mereka jalani adalah budaya diam, menerima, dan menyimpan – kalau memang simpanan itu tidak hilang – bukan budaya mencari. Mereka tidak berkembang dengan segala potensi yang mereka miliki karena memang mereka tidak pernah menggali dan menanyakan ulang tentang apa yang mereka terima. Dan lebih parahnya lagi mental dan karakter yang mereka bawa adalah mental anti kritik dan fanatik. Mereka tidak akan membuka pandang akan adanya kemungkinan-kemungkinan dan berbagai perbedaan. Padahal mereka adalah aset berharga yang akan meneruskan estafet perjuangan dalam mengentaskan kebodohan yang selama ini disinyalir menjadi akar dari berbagai masalah sosial. Tapi pada kenyataannya mereka dibungkam dan bahkan dilarang untuk berkembang secara diam-diam. Maka seharusnya kita sadari bersama bahwa bila memang ruang kelas tidak memadahi dan tidak cukup waktu untuk pengembangan potensi maka seharusnya kita menyediakan wadah dimana mereka bisa mengolah dan menyampaikan apa yang telah mereka serap dari bangku sekolah. Salah satu cara sekaligus wadah terbaik adalah diskusi. Dalam wadah ini anak didik dibina, dan dibimbing untuk menggali dan menanyakan lagi apa yang telah mereka dapat. Mereka bergantian dalam menjelaskan materi, dan menanyakan apa yang belum mereka fahami. Dalam diskusi ini mereka bebas membawa refrensi apapun yang terkait dengan materi agar mereka bisa memandang permasalahan jauh lebih luas. Disamping itu mereka akan berlomba dan saling bantu membantu untuk menyelesaikan masalah yang ada. Selain keuntungan berupa tambahan dan pendalaman materi, diskusi juga memberi keuntungan melatih karakter baik dari anak didik. Diantaranya adalah pertama, terlatih berfikir kritis, bahwa mereka akan terbiasa menanyakan apapun sedalam-dalamnya dan tidak mudah percaya dengan apa yang diterimanya tanpa tahu dasar argumentasinya. Dengan terlatih berfikir kritis mereka juga akan lebih mudah dalam menyerap berbagai macam ilmu pengetahuan, sebab pola pikir mereka telah tertata dengan baik. Kedua, berpandangan luas, bahwa mereka yang terbiasa berdiskusi akan lebih mudah dalam menyikapi segala persoalan, sebab ia mempunyai banyak bahan dari berbagai literatur dan sudut pandang. Ketiga, terbuka dalam menerima kritik, bahwa mereka yang terbiasa berdiskusi akan lebih luas hati dalam menerima kritik, sebab ia tahu bila dasar argumentasi yang ia utarakan kurang tepat. ia akan lebih suka dengan pembetulan orang lain, ia tidak kaku dengan pendapatnya sendiri, dan ia menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa banyak yang ia belum pahami sehingga kritik yang ia dapat adalah bahan berharga untuk melengkapi wawasannya. Keempat, berani menyampaikan kebenaran, bahwa mereka yang terbiasa berdiskusi tidak akan segan menyampaikan pandangannya, begitupula mereka juga tidak akan malu mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Mereka telah memegangi kuat tentang kejujuran intelektual sebab mereka tahu dalam mengungkapkan pandangan maupun pemikiran haruslah didasari dengan pondasi argumen yang kokoh. Diskusi hanyalah sebuah metode – yang selayaknya metode-metode lain – tetap mengandung sisi positif dan negatif yang tetap membutuhkan kearifan seorang guru untuk dapat memilih antara menerapkannya atau tidak. Tapi yang ingin penulis sampaikan disini adalah harus ada revolusi pendidikan !!!. kita harus terbuka dengan berbagai cara , sebab tidak ada kata main-main dalam masalah pendidikan. Para siswa adalah anak-anak masa, yang sedikit atau banyak mempengarui baik atau buruknya kehidupan dimasa mendatang. Mereka harus dipersiapkan dengan bekal yang maksimal hingga mereka dengan mudah menapaki batu loncatan dari fase kehidupan yang mereka jalani. Dan supaya segera hilang bayang-bayang kejenuhan mereka terhadap bangku sekolah, agar mereka tidak menganggap bahwa sekolah hanya rutinitas semu yang hanya berfungsi menghabiskan waktu, juga segala pikiran pikiran buruk tentang sekolahyang ada dibenak para siswa. Sungguh berat menjadi seorang pendidik, mungkin karena memang imbalannya adalah surga. Seandainya tidak berat mungkin imbalannya hanyalah sepeser uang rupiah.
1 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus