PMII Sebagai Sub-Kultur Nahdlatul Ulama


 

   PMII Sebagai Sub-Kultur Nahdlatul Ulama

    Penggunaan istilah yang belum teruji secara ilmiah ini mungkin masih agak tabu, pengakuan bahwa PMII merupakan sub-kultur nahdlatul ulama merupakan sebuah identifikasi kultur yang belum merata bagi seluruh abdi organisasi PMII, tetapi identifikasi kultur ini seharusnya digunakan untuk memahamkan khlayak mahasiswa baru, artinya khalayak umum diluar PMII.

    Jika diingat, sebuah pendekatan yang optimal untuk digunakan sebagai identifikasi organisasi kemasyarakatan (atau dalam hal ini kemahasiswaan) adalah dengan pendekatan naratif, yakni oleh dan dari kalangan organisasi sendiri lah yang mengidentifikasi, dalam hal ini identifikator menggunakan monografi-monografi yang sudah ada dan yang relevan dengan keadaan relitas organisasi. Tetapi tak bisa dipungkiri Terdapat juga kesulutan yang cukup besar untuk identifikasi PMII sebagai sub-kultur bagi Nahdlatul Ulama, hanya ada beberapa monografi atau realitas-realitas nyata yang menunjukkan bahwa PMI merupakan sub-kultur bagi Organ besar Nahdlatul Ulama. Bahkan yang kerap terjadi, segmen-segmen utamanya pun ada yang bertentangan dengan batasan-batasan yang biasanya diberikan pada sebuah sub-kultur. Bahkan acap kali yang dianggap sebagai sub-kultur hanya ada dalam tataran ideal belaka, belum sampai didapati dalam realitas kenyataan.

    Hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai sub-kultur antara lain bahwa PMII merupakan sebuah organ yang merawat dan mewadahi para kaum muda nahdliyyin, dalam hal ini segmentasi Mahaiswa; terdapanya sebuah khazanah pembentukan tata nilai tersendiri; Adanya daya Tarik terendiri, lengkap dengan simbol-simbolnya(semisal kalau anak PMII pasti gaya pandagnya Filosofis, genre bacaanya madzhab frakfrut Dsb.) sehingga memungkinkan PMII menjadi sebuah Alternatif bagi mahaiswa baru Nahdliyin untuk mengembangkan sebuah potensi dan kualitas diri.

    Pergeraka Mahasiswa Islam Indoneisia, merupaka sebuah organiasi yang unik, disini dapat dinilai dari para abdi oragnisasinya (baik yang anggota, kader atau pengurusnya) yang kesemuanya itu adalah manusia khusus yakni Mahasiswa, berbeda dengan Abdi Organisasi di lingkaran Nahdalatul Ulama yang lain, yang isi dari kader-kadernya sangat hetrogen (campur-bawur). Artinya, Jika Abdi Organisasinya sudah monogen (dalam hal paling sederhana ialah sejenis dalam ijasah lah minilan) ini sudah agak sepesial disbanding dengan kultur yang ada dilingkaran Nahdlatul Ulama lainnya. Dalam keadaanya yang sangat istimwa itu diciptakan dan dirmuskannya sub-kultur tersendir dengan coraknya tersendiri pula. Dimulai dengan pengembangan pola paradigma yang berbeda, dan Dijalakannya pula rutinitas yang sangat berbeda. Dalam rangka inilah kerap kali dijumpainya rutinan-rutinan PMII bukan berupa Tahlil dan yasinan tetapi Kajian dan Diskusi tentang pola pemikiran Karl Marx dan Hegel; Sering pula dijumpainya kegiatan-kegiatan yang bersifat mengkritik dan melawan kebijakan pemerintah dengan gaya demontratif aksi-jalan daripada mediasi dan loby.

    Selain Rutinitas yang serba tidak biasa itu, Dicanangkan Belasan gaya pengembangan skill Kader yang tak biasa pula, layaknya Sekolah Epistimologi, Sekoah Sosiologi, Madrasah Psikokologi dan lain sebaginya, hal demikian tak lain hanya untuk mengembangkan dan menjadi jaminan mutu tersendiri bagi alumni PMII nantinya. Dari Struktur pengembangan Kader dan Rutinitas yang tidak biasa ini menghasilkan pula pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Dalam bahasa yang ada, Para Kader wajarnya mempunyai pandangan hidup (Paradigma) Kritis transformatf, dengan gambaran bahwa kader PMII, tidak boleh dan tidak layak (bahkan), untuk mempercayai dan mengimani segala yang masih kasap mata, harus ditela’ah terlebih dahulu, kader PMII seakan-akan mengindahkan sebuah proses terjadinya sesuatu, yakni dengan cara ditelisik, dikritisi dan diidentifikasi, mulai dari factor penyebab, hakikat, dan proses kejaidan serta nlai yang ditimbulkan, baru nantinya akan muncul sebuah penilaian atau sebuah ke “Iya” an.

    Sebuah gaya hidup yang Asketis tak jarang dipilih oleh kader PMII, Seorang kader PMII yang sudah dalam tataran “Kader Mujtahid” menggunkaan sikap hidup Asketis sebagai Tata-Nilai untuk mengisimalisisr budaya-budaya dan isu-isu baru yang ada, artinya hidup dan melaksanakan kehidupan dijalan PMII adalah sebuah resistensi nyata bagi kejumudan dan kemandekan berpikir era ini, dimana mahasiswa dituntut hanya diam dan mendengarkan Materi dari runag-ruang Online yang penuh kesadaran palsu, PMII hadir untuk menggembleng mahasiswa baru agar bisa mencapai Dimensi tanggung jawabnya sebagai agen transfomasi masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar