Sebelum pembaca terlalu jauh membaca paragraf demi paragraf dalam tulisan ini. Alangkah lebih baiknya akan saya jelaskan terlebih dahulu sebuah konsepsi umum atau sebuah ikhtisar dari tulisan ini, tulisan ini bukanlah tulisan tentang konsep 4T (tawasuth, tasamuh, tawazun dan ta’adul) bukan pula kerangka sejarah politik islam (antara sunni versus syi’i), tapi tulian ini akan menjabaran sekilas tentan Aswaja Sebagai Paradiga Kritis Transformatif; Aswaja digunakan sebagai insparasi Lokomotif sebuah Perubahan sosial kearah Tatanan yang lebih baik dan sejahtera.
- A. ASWAJA Kita
Sampai saat ini belum ada istilah aswaja
yang lebih epistimologis, yang menjelaskan aswaja lebih menyeluruh, sepert yang
kita tahu bahwa defisni atau pengertian mempunyai lima Perangkat yang diguakan
untuk menyusun sebuah definisi, yakni Spesies (Nau’); Genus (Jins); (Fashl)
Differensia; Aksiden Khusus (Khas); Aksiden Umum (‘Ardh ‘Amm).
Maka hal pertama yang harus kita lakukan ketika
kita mau mendefinisikan sesuatu adalah mencari sifat yang esensial dan yang aksidental,
jika kedua sifat yang melakat pada sesuatu tersebut sudah ketemu maka tinggal
kita menyusunya, Rumus definisi adalah
(Genus + diffrensia) contoh “Pesantren adalah tempat belajar keislaman” jika
diferensia diambil dari yang sifatnya esensial berarti ia termasuk definisi
esensial, adapun jika diffrensianya diambil dari yang sifatnya aksiden baik
yang khusus maupun yang umum berarti ia termasuk definisi aksidental sesederna
itu sebenarnya.
Kalaupun istilah aswaja sering dikutip dan
dituliskan dalam buku-buku dan monografi-monografi yang ada di pesantren itupun
belum dikatakan sebagai definisi yang sempurna. Tetapi, ini bukan berarti
pengertian yang kita anut dan kita
sebarkan ini keliru, hanya saja belum sesuai kaidah mantiq yang
rumusannya sudah saya tuliskan diatas. Tetapi defnisi yang sedimikian itu (Asawaja Adalah sebuah Manhaj Yang Dalam Segementasi
Aqidah Mengikui Imam Abu Ahasan Al-Asya’ri Dan Abu Mansur Al Maturidi, Dalam
Segemntasi Akhlak Taswuf Mengkuti Imam Abu Ahmad Al-ghazali Dan Imam Junaid Al-Baghdadi,
Dan Dalam Segmenatsi Ubudiyah Mengkuti Empat Imam Madzhab Fiqih) ini kayaknya lebih kondusif dan lebih
membantu memahamkan khalayak luas ketika masa pendirian NU (Pelopor Pelestarian
ajaran aswaja) oleh KH. Hasyim Asy’ari dulu.
Kendatipun demikian, problem defisni
tersebut lambat tahun juga terlihat kontradiksinya, Misalnya dalam rumusan
aswaja diatas hanya diterangkan Madzhab dan masing-masing imamnya (seperti
contoh; dalam Segmentasi Akhkak Tasawuf mengikuti madzhab imam Al-Ghazali dan Imam
junaid Al-baghdadi) tetapi realitanya didalam madzhab satu dengan madzhab yang
lain sendiri itupun acap kali ditemukan adanya konradiksi suatu Pemahaman,
seperti contoh “Yang Ada Dalam Madzhab
Imam Junaid Al-Bahdadi Tentang Konsep Kewajiban Manusia Untuk Kali Pertama
Ialah Mengenal Tuhan-nya, Dengan Landasan Utama Men-Tauhidkan Tuhan-nya, Dengan
Cara Menafiykan Sifat-Sifat Dari Diri Tuhan-nya. Antara Imam Junaid Al-baghdadi Yang
Mempunyai Penapat Menafikan Segala Sifat Dari Diri Tuhan Dengan sebuah pendapat
dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Tentang “Afirmasi Dan Perumusan Sifat-Sifat Wajib Bagi Tuhan.”
Disilah kenapa Aswaja tidak bisa dikatakn sebagai madzhab, tetapi aswaja
ialah sebuah Paradigma baru; Sebuah Model Pemikiran yang Luwes, lentur, dan bisa
digunakan kapan saja, karena memiiki komoditi sekian madzhab untuk menjawab
tantangn dari zaman ke zaman.
- B. Aswaja dan
Keadilan Sosial
Ø¥ِÙ†َّ ٱللَّÙ‡َ ÙŠَØ£ْÙ…ُرُ بِٱلْعَدْÙ„ِ ÙˆَٱلْØ¥ِØْسَٰÙ†ِ
“Sesunguhnya Allah Memerintahkan Pada Kamu Sekalian
Untuk Berlaku Adil Dan Berbuat Kebijakan” [Q.S. An-Nahl;90]
Jika kita menapaki setiap jengkal dari
ajaran agama Islam atau bahkan agama manapun pasti terdapat sebuah perintah
untuk berbuat Adil, dan bahwa setiap manusia ialah sama; sederajat (dalam
sosial). Berbicara mengenai keadilan maka berbicara pula mengenai hak dan
kewajiban, maka setiap manusia berhak akan kehidupan yang Layak; yang sesuai
porsi kelayakan mereka. Harusnya ada keseimbangan antara hak-hak penguasa dan
hak-hak Rakyat. Kesembangan ini bersifat menyeluruh(Ijma’i); harusnya
disetiap lini kehidupan seseorang. Karenanya seluruh umat islam harusnya
menunaikan penyeimbangan antara kognitif dan emosional, antara duniyawi dan
ukhrawi. Para peguasa pun demikian, harusnya ada keseimbangan antara pembangunan
infastruktur-fisik dan infastruktur non-fisik. Dalam segmen pendidikan juga
harusnya ada keseimbangan antara yang kebutuhan pasar (link and mach) dan
kebutuhan masa depan generasi Indonesia.
Dalam
khazanah keilmuan Islam, Keselarasan merupakan kewajiban yang dititahkan ke
semua pemeluknya. Sampai-sampai ada sebuah ajararan dalam islam yang
mengkategorikan ketidak selarasan meruakan Dosa besar (minal kaba’ir), sepertihalnya
firman Allah yang memeringatkan sebuah siksaan bagi mereka yang menumpuk harta
kekayaan mereka dan tidak digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan orang
banyak (baca Q.s. Attaubah; 34). Artinya, Tafsran dari ayat tersebut merupakan
sebuah spirit kebersamaan, spirit gotong royong dan saling bantu-membantu antar
rakyat dengan rakyat; pemerintah kepada rakyat; dan rakat kepada pemerintah.
Pemerintah tidak boleh sewenang-wenangnya mensakralisasi jabatan yang ia
emban, sampai-sampai ia (pemerintah) anti dengan kritik dari rakyat.
Mungkin
ada yang berbeda dalam mendefinisikan sebuah arti kata “keadilan” apalagi jika
definisinya diambil dari kacamata yang bersebrangan pula (rakyat vs pemerintah
semisal), tetapi apapun realitanya, Islam dalam ajarannya sudah merumuskan
sebuah yurisprudensi baku bagi setiap orang yang ingin berlindung di dalamnya,
yang kerap kali yuriprudensi itu kita sebut sebagai lima prinsip pokok Agama (al-kulliyah
al-khams) yakni (hifzh ad-din),
(hifzh al-nafs), (hifzh al-'aql), (hifzh al-nasl wal al-mal), dan (hifzh
al-I’rodh).
Perlindungan atas agama berarti setiap
manusia wajib menjaga hak dan kewajiban manusia lainnya dalam berkeyakinan,
saling menghormati lintas etnik dan budaya. Perlindungan atas jiwa ialah
manusia wajib menunaikan hak dan kewajiban untuk pemenuhan kebutuhan material
dan non-material. Manusia berhak akan kebutuhan fisik, minimal yang harus
diperoleh oleh seseorang sehingga dirinya merasa layak. Perlindungan atas akal
dan nalar berpikir ialah manusia mendaatkan hak atas kebebasan berekspresi,
berpikir dan memilih paradigma mana yang ia gunakan. Perlindungan atas kehormatan
ialah setiap manusia berhak dan berewajiban menjaga dan saling menghormati
kehidupan (privacy) manusia lainnya, misalnya terhadap sebuah budaya dan
kebiasaan yang melanda setiap manusia modern. Dan yang terakhir perlindunagn
atas anak turun dan hak milik ialah semua manusia berkwajiban dan berhak
menjaga kebutuhan atas generasi mendatang, berhak mewujudkan lingkungan yang
baik serta aman bagi anak cucunya dan harta kepemiliaknnya.
Jika kita cermati, maka prinsip lima yang
iajarkan dan diwajibkan oleh islam ini tidak ada tendesus politik sedikitpun,
malah lima prinsip ini yang akan bisa membwa manusia kepada tatanan yang lebih
baik dan sejahtera.
- C. Aswaja dan Kaum
Mustadh’afin
Misi Nabi agung Muhammad SAW., yang dituangkan
dalam wahyu-wahyu-Nya yang pertama kali ialah “Bacalah..!!” dengan itu nabi
membaca segala realitas sosial yang ada di Makkah pada saat itu, realitas yang masih
jauh dari kata ideal, Realitas yang memprihatinkan; mulai dari etika dan moral
orang-orang arab, akidah dan keyakinan, hingga tradisi-tradisi yang sifatnya jahaliy;
misalnya, mereka(orang Makkah) masih memposisikan wanita di posisi yang amat
rendah. Sampai jika ada seseorang yang melahirkan anak perempuan, orang tesebut
merasa malu dan bisa saja anak perempuan yang baru lahir itu langsung dibunuh,
ini sudah rahasia umum bagi orang makkah kala itu. Artinya, selain memang
misi-misi keyakinan dan misi agama, ada misi lain yang sangat subtansial yang
dititahkannya Nabi Mhammad saat itu, dan bahkan para nabi sebelumnya. Yakni
misi merubah tatanan sosial dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.
Berbicara mengenai Wahyu kenabian yang satu
ini; Misi Transformasi Sosial, Nabi Muhammad merubah tatanan sosial politik
bangsa arab yang sebelumnya masih dipenuhi oleh ego-sektoral, tidak adanya
keadilan bagi suku satu dengan suku yang lain, maka Muhammad memulai degan
penyebaran dan penanaman ketahudi-an pada Allah. Mengesakan Allah berarti
mereka akan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah yang diwahyukan
kepada Muhammad. Dalam Al-qur’an prinsip tauhid langsung dikaitkan dengan
penolakan Toghut. Ada beberapa pengertian tentang Toghut ini, tapi
semuanya hampir merujuk kepada sebuah dimensi yang sama, yakni Pemerintah yang
Dzalim, yang lalai kepada hak-hak rakyatnya, dan yang tidak bisa menebarkan
keadilan dan kesejahteran bagi rakyat-rakyatnya. Konsekuensi logisnya semakin Besar
dimensi Tauhid seseorang, maka semakin besar pula Semangat Pembebasan
seseorang, maka tidaklah keliru jika ajaran tauhid ini dikatakan sebagai
teologi pembebasan.
Dalam Semangat pembebasan seperti ini,
cendikiawan muslim Hasan hanafi mengejawentahkan sebuah konsep Tauhid dengan “La Illaha illa hurriya, wa muhammadun rosul
al-hurriyah” yang artinya
tidak ada tuhan selain kebebaan, dan Muhammad adala nabi pembebasan. Hal
semacam ini sudahlah jelas bahwa pengejawentahan tersebut disebabkan oleh
dalamnya kethuidan hasan hanafi kepada Allah SWT., paling tidak gagasan seperti
ini adalah upaya Hasan Hanafi untuk pengaplikasian Tauhidillah ke arah
tranfomasi sosial yang berskala global.
- D. Aswaja sebagai Spirit
Nalar Kritis dan Pergerakan Transformatif
Ada dua tantang besar yang dihadapi bangsa
kita saat ini, yang pertama Globalisasi yang sengaja disdain oleh IMF, Bank
Dunia dan WTO, dan disisi lain ada dobrakan-dobrakan terorisme dari kaum
ekstrimis agama. Globalisasi diiming-imingkan kepada kita agar kita menjadi
bangsa yang sejajar dengan bangs-bangsa barat yang maju lainnya., nyatanya
justru memiskinkan rakyat indoneisa, dan juga membuat bangsa kita lemah, tidak
mandiri dalam mengelolah ekonomi dan sumber daya alam yang ada. Dan untuk
dobrakan-dobrakan ekstrimis agama menjanjikan pola kenegaraan yang sahih, yang
(menurut mereka) sesuai sunnah nabi, nyatanya malah menggerogoti spirit
kebangsaan rakyat indoensia yang plural-humanistik, dan masing-masing dari kita
akan bertikai antar golongan dan saling menyalahkan.
Ulama-ulama Indonesia (baca wali songo)
telah megajarkan dan memberikan contoh kepada kita betapa harmonisnya proses
transformasi sosial saat itu, yang mulanya indonesia mayoritas beragama hindu
dan buda dengan akulturasi budaya dan agama masyarakat yang asalnya hindu budha
bisa menjadi islam. Wali songo dengan semangat “Hubbul wathon minal iman”
memberikan sebuah doktrin baru bahwa kecintaan kepada tanah air merupakan etos
dan kekuatan untuk menghalau ancaman yang datang dari luar.
Pada masa kini ancaman dari luar bukan
berupa penyerangan perang dan gencatan senjata, melainkan berupa investasi
asing yang berusaha menguasi sumber daya alam suatu daerah, jika spirit cinta
tanah air ini bisa dikembangkan lagi maka ancaman-ancaman dari asing bisa
diminimalisir. Solidaritas bisa dibangun dan dipupuk untuk kepentingan nasional
yang lebih luas, mislanya solidraitas masyarakat untuk saling menjaga sumber
daya alam. Lantas bagaimana cara pemupukan solidartas itu? Jika kita mengikut
pada apa yang diajarkan oleh wali songo ialah dengan memupuk tradisi,
tradisi musyawaroh Rukun Tetangga, Tradisi tahlilan satu RT, Tradisi
Haul dusun dengan bergotong-royong, hal-hal kecil semacam ini jika dibangun
ulang dan dikembangkan untuk kepentingan nasional yang besar maka akan bisa menjinakkan
ekses-ekses global yang akan menyerang bangsa kita. Sebagai catatan akhir “Al-haqqu
bila Nidhomin sayaghlibuhu Al-bathilu binnidhom”
0 Komentar